Citra Ke”wali”an Demak di Era Karaoke dan Warung Remang



Sejak 500an tahun yang lalu Demak telah membuat dunia miris. Maka perlahan-perlahan, terdisain atau tak sengaja, terdapat semacam perjanjian tak tertulis di kalangan tertentu di berbagai bidang: Jangan sampai Demak menjadi besar, jangan sampai demak menjadi wilayah yang maju. Sebab potensi sejarah, alam dan manusia tak bisa dilawan oleh siapapun. Kalau diberi peluang, masyarakat Setan dan Iblispun kalah unggul dibanding warga demak. Sedangkan orang Demak hidup iseng dan sambilan saja dalam melakukan apapun.
Demak Kota Wali
Citra kota merupakan wujud dari gambaran pengalaman, presepsi, dan penilaian seseorang terhadap kota. Demak Kota Wali merupakan salah satu bentuk pencitraan kota yang terbentuk karena latar belakang sejarah penyebaran Agama Islam, dimana dulu Demak sebagai pusat awal penyebaran di Jawa dan merupakan kesultanan Islam Pertama di Jawa (abad ke-15) dengan para dewan keagaamaan yang disebut Wali Sanga.
Perkembangan Demak dengan pengaruh para Wali begitu dahsyat, hingga gaungnya terdengar ke seantero nusantara, dan hal paling menonjol adalah keberhasilan akulturasi budaya oleh para dewan wali sanga dengan bukti sejarah yang hingga saat ini masih terlihat seperti bangunan Masjid Agung Demak yang menjadi model masjid di berbagai keraton nusantara, kesenian Wayang Kulit karya Sunan Kalijaga yang sekarang telah diakui dunia, Upacara Grebeg/ Sekaten yang hingga saat ini masih di selenggarakan di beberapa kesultanan Islam nusantara, dll.
Jasa besar Wali Sanga kepada Nusantara khususnya Demak itulah yang terpatri dibenak masyarakat hingga mencitrakan Demak sebagai Kota Wali.

Lain dulu lain sekarang, saya terkejut ketika teman saya ngajak karaoke di Demak. “Apa ada karaoke di Demak” saya hanya membatinnya karena tak percaya. Obrolan tongkrongan nasi kucing beberapa waktu kemarin semakin membuat saya ciut, ternyata karaoke sudah menjamur di Demak, obrolan menjadi semakin membuat sesak napas, karena karaoke tersebut juga memberikan jasa PK (istilah bagi pemandu karaoke yang biasanya wanita).
Ow… dan ternyata benar, dan saya sudah membuktikan sendiri bahwa obrolan malam tadi benar adanya. “KAMPRET!!!“, batin saya saking kakuatine, kok ini bisa ada di kota para wali.
Bahkan ada hiburan yang lebih murah meriah lagi yaitu warung remang di sepanjang jalan lingkar.
Minimnya hiburan yang ada di Kota Demak lah yang saya kira menjadi penyebab menjamurnya bisnis karaoke ini, dan adalah hak setiap orang untuk mendapatkan hiburan. Tidak ada yang salah dengan karaoke selama tidak melanggar hukum, sosial, dan agama. Yang ditakutkan adalah munculnya penyakit masyarakat yaitu prostitusi, miras, dan lebih bahaya lagi narkoba.

Peran Penyelenggara Negara dan Masyarakat
Nah itulah penting nya rem biar nggak kebablasan. Kita sebagai warga negara sudah menitipkan amanah berupa suara kita dalam pemilihan umum, ibarat suara kita tersebut seperti tiket pesawat dengan tujuan tertentu, masyarakat sebagai penumpangnya, dan pilot sebagai penyelenggara negara (eksekutif, yudikatif, legislatif) yang memiliki kewenangan secara legal untuk membina, menertibkan, hingga membubarkan. Maka kita harus mengingatkan kembali kepada para penyelenggara negara agar senantiasa dalam jalur yang benar bukan malah auto pilot tanpa arah membawa kita ke arah Demak yang semakin terbelakang.

Citra Nyata dan Peran Sunan Kalijaga Baru
Pencitraan tanpa kenyataan menjadi hal buruk dalam berkembangnya citra kota, ibarat atap tanpa tiang atau atap yang disangga dengan tiang yang kropos. Demak sebagai penyandang kota wali harus segera menata kembali ke”wali”annya.
Memaknai ke”wali”an Demak era Era Karaoke dan Warung Remang tentu berbeda dengan memaknai era Sunan Kalijaga, Demak sekarang sedang diserang oleh budaya hedonisme dan banalitas informasi (berita yang dangkal). Perlu dosis yang lebih tinggi untuk mencapai solusi dari pada apa yang dulu pernah disuntikkan oleh Sunan kalijaga. Entah apa itu solusinya, yang pasti saya sedang menunggu seorang pemimpin yang tidak sekedar sebagai seorang pemimpin, ia harus sakti mandraguno secara ilmu dan agama, ia harus tahu kemauan rakyatnya, tumbuh dari wongcilik tapi berjiwa kesatria, dan terakhir ia harus mampu membangun tiang yang akan menyempurnakan tiang yang sebelumnya pernah ditegakkan para wali.
# Menanti kehadiran peran Sunan Kalijaga baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar